Antara Hasrat Bahagia dan Ancaman Toxic Relationship

Antara Hasrat Bahagia dan Ancaman Toxic Relationship
Dalam menjalankan hubungan pasti ada yang bahagia dan kecewa. Banyak dari kita yang mengalami ancaman toxic relationship dengan bertahan.

Dukref News – Antara Hasrat Bahagia dan Ancaman Toxic RelationshipSetiap orang ingin merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Bahagia merupakan salah satu emosi positif yang dialami setiap individu manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Kebahagiaan berarti kepuasan atas kebutuhan dasar dalam hidup seseorang. Untuk mencapai tingkat kebahagiaan tertingginya, manusia berupaya semaksimal mungkin dengan berbagai cara yang justru kadang terkesan kontraproduktif. 

Salah satu cara agar seseorang merasa bahagia adalah dengan menjalin hubungan dengan lawan jenis yang menarik perhatiannya. Menjalin hubungan bagi kalangan remaja awal biasa disebut dengan pacaran (relationship). Budaya berpacaran pada awalnya bermula dari pemberontakan terhadap tradisi perjodohan yang mengakar kuat di Barat sekitar abad ke-17 hingga 18 Masehi. Budaya ini kemudian ditentang oleh kelompok feminis yang menyatakan bahwa seseorang berhak menentukan atau memilih pendamping hidupnya.

Seiring dengan masuknya budaya Barat ke Timur, tren berpacaran juga ikut menggandrungi pola pikir para remaja. Hal itu turut didukung dengan munculnya tayangan-tayangan televisi yang dibumbui dengan adegan pacaran yang romantis. Sehingga lahirlah sinetron, ftv, telenovela, hingga film-film yang diangkat dengan tema religi pun turut diwarnai dengan kisah cinta yang terkesan agamis untuk menarik minat penontonnya. Selain di bidang perfilman, adegan romansa juga mudah dijumpai di banyak karya-karya fiksi remaja. Sudah tidak terhitung jumlah karya yang lahir dari tangan-tangan kreatif bangsa Indonesia yang membahas persoalan asmara.

Namun sayangnya, ekespektasi para remaja terhadap kisah cinta mereka sendiri dalam dunia nyata justru berbanding terbalik dengan adegan-adegan di televisi. Pertengkaran semisal adu mulut lebih sering terjadi daripada keharmonisan hubungan yang tampak manis dan memesona. Parahnya, hubungan yang tidak sehat seperti itu pada akhirnya akan menimbulkan dampak negatif, khususnya pada aspek psikis remaja yang dalam rentan usianya masih tergolong labil. Oleh karena itu, memilih untuk menjalin hubungan dengan seseorang harus melalui perhitungan yang matang. Pikirkan baik buruknya, butuh tidaknya, dan kesiapan diri dalam menjalaninya. 

Diakui ataupun tidak, usia remaja awal yang masih berkisar antara 13 ke 18 tahun, ukuran remaja SMP dan SMA, diyakini belum siap menjalin hubungan yang serius. 99 dari 100 hubungan yang dijalin saat usia remaja awal, ujung-ujungnya hanya akan berakhir dengan perpisahan yang tragis. Kata-kata “putus” dalam berpacaran akan lebih sering dialami ketimbang komitmen untuk menuju hubungan yang serius seperti bertunangan atau menikah. 

Sehingga tren berpacaran saat ini sejatinya tidak diposisikan sebagai jalan atau media menuju jenjang pernikahan atau hubungan yang lebih serius. Budaya berpacaran yang dijalani anak remaja awal sekarang cenderung pada pemuasan kubutuhan psikis mereka dalam hal merasakan kebahagiaan, yaitu dengan cara mempunyai pasangan, meski masih dibilang terlalu dini. Jika demikian adanya, hubungan dalam berpacaran haruslah memiliki batasan-batasan yang tidak memberikan dampak negatif hingga menimbulkan korban. Sebab, menurut Komnas Perempuan, jumlah kasus toxic relationship (kekerasan dalam berpacaran) mencapai 150 kasus setiap tahunnya.

Dengan data di atas, sudah cukup untuk menjadi warning (peringatan) bagi kaum remaja dalam menjalin hubungan berpacaran. Jangan sampai hubungan berpacaran terlalu menjurus pada perbuatan-perbuatan ekstrem seperti berbuat mesum, perzinahan, hingga penganiayan. Jika toxic relationship terlanjur dijalani, maka bukan kebahagiaan yang akan didapatkan. Kita seakan-akan sedang berhubungan dengan benalu sebagai parasit yang menggerogoti fisik, mental, bahkan isi dompet kita. 

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), terdapat lima bentuk kekerasan yang dialami oleh korban toxic relationship, yaitu;

1. Kekerasan Fisik

Kekerasan semacam ini biasa terjadi dengan diawali pertengkaran mulut yang kemudian menyulut emosi sehingga membuat pelaku ringan tangan melakukan kekerasan fisik, seperti memukul, menendang, menampar, menjambak, mendorong, mencekik, hingga membunuh.

2. Kekerasan Mental/Psikis

Kekerasan semacam ini juga diawali dengan pertengkaran atau kesalahpahaman sepele yang terkadang dibesar-besarkan. Ancaman, bulliying, julukan yang memalukan, kemarahan yang berlebih, hingga menjelek-jelekkan pasangan termasuk dalam kategori ini. Bahkan, memutuskan hubungan secara sepihak juga akan berdampak negatif bagi psikis korbannya.

3. Kekerasan Ekonomi

Persoalan ekonomi tetap tidak akan luput dari kehidupan sosial manapun, termasuk dalam hubungan berpacaran. Seseorang terkadang memanfaatkan ketertarikan orang lain kepada dirinya untuk mendapatkan uang lebih dalam mencukupi kebutuhannya. Disadari maupun tidak, korban dalam hal ini bisa terjadi bagi laki-laki maupun perempuan. Sehingga muncul istilah cowok/cewek matre yang menjalin hubungan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa ada perasaan sedikitpun di dalam hatinya.

4. Kekerasan Seksual

Kekerasan ini mencakup segala jenis perbuatan seksual baik didasari atas suka sama suka maupun tidak. Sebab, bukan hal itu yang menjadi persoalan. Mungkin sebagian orang berdalih atau beralasan bahwa ia rela dan sudi melakukannya untuk menyenangkan pasangan terkasihnya. Namun, semua itu hanya manis di awal, yang berujung pada penyesalan tiada akhir. Kekerasaan ini seperti berciuman hingga berhubungan badan. 

5. Kehidupan yang Terbatas

Pacar atau pasangan yang cenderung posesif terkadang bersikap semena-mena dan mengatur penuh aktivitas lawan pasangannya. Hal ini jelas mencederai hak warga negara untuk hidup bebas, melakukan aktivitas-aktivitas sosialnya, tanpa adanya gangguan dan hambatan. Kehidupan sosial seakan terpenjara dan terkekang. Hubungan yang didasari dengan kekerasan semacam ini banyak menimbulkan kecurigaan dan berujung pada perpisahaan yang menyedihkan.

Oleh karena itu, menjalani hubungan berpacaran di masa remaja perlu dipertimbangkan matang-matang. Sebenarnya ada banyak cara untuk memenuhi kebutuhan psikologis dalam hal kebahagiaan tanpa dilalui dengan berpacaran. Eratkan hubungan dengan pihak-pihak lain yang justru lebih harus bahkan wajib dijalani, seperti orang tua dan saudara. Jika masih kurang, jalin pula hubungan yang baik dengan guru dan sahabat, sehingga berpacaran tidak lagi menjadi jalan keluar meraih kebahagiaan. 

Maka dari itu, mari sejenak kita renungkan, berapa banyak remaja di luar sana yang justru lebih dekat dan mementingkan urusan pacarnya, daripada persoalan orang tua dan keluarganya? Semoga kita tidak tergolong ke dalamnya dan tetap mendapatkan rasa bahagia bersama orang di sekitar kita.

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *