Dukref News – Cinta merupakan fitrah alami manusia dan siapapun pasti merasakannya. Sebab tanpa keberadaan cinta, orang menyebutnya sebagai perasaan hampa, tanpa nilai, dan tidak berarti apa-apa. Cinta juga banyak memberikan inspirasi dan pengorbanan, akan tetapi cinta jugalah yang kadang membawa kesengsaraan bagi mereka yang merasakannya.
Dalam kehidupan manusia, cinta muncul dalam berbagai bentuk sesuai kodrat dan iradat-Nya, seperti cinta kepada istri, anak, orang tua, harta, bahkan tahta dan sebagainya. Adapun Islam sebagai agama yang membawa rahmat Allah SWT juga mengenal dan menghargai adanya cinta.
Sehingga tidak salah jika banyak orang mengartikan bahwa perasaan cinta adalah suatu anugerah tak terhingga. Namun, hanya sedikit dari mereka yang mampu membedakan apakah itu cinta sebenarnya ataukah sekadar hasrat nafsu semata. Di situlah setiap orang akan dihadapkan pada situasi di mana ia harus bertindak gegabah ataukah memilih waspada dan berserah diri kepada-Nya dalam urusan menyikapi cinta.
Cinta pun diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan. Pertama, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai bentuk cinta sejati manusia. Kedua, adalah cinta kepada keluarga seperti ayah, ibu, istri, anak, ataupun harta dan sejenisnya yang tidak melebihi batas wajarnya. Adapun yang ketiga, adalah kecintaan kepada keluarga dan harta yang lebih diunggulkan dari pada kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Cinta tingkat ketiga inilah yang kemudian menuai masalah dan menjadikan seseorang tampak hina. Sebab cinta sedemikian rupa pada dasarnya telah didominasi oleh hasrat nafsu dimana syaitan ikut andil menjadi aktornya. Maka tidak jarang, disebabkan cinta seperti ini seseorang menjadi buta, bukan lantas buta penglihatannya, namun buta mata hatinya. Sehingga tindakan amoral tidak lagi mampu terelakkan dan dengan beraninya melangkahi norma-norma sosial bahkan agama.
Sehingga dalam persoalan cinta pun yang secara pasti dirasakan oleh setiap manusia, Islam banyak membahas baik secara umum terkait objek sasarannya, tingkatan-tingkatannya, penerapan baik dan buruknya, sekaligus percontohan aneka fenomena cinta yang cenderung menginspirasi.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, cinta yang bermasalah adalah kecintaan manusia terhadap hal-hal dunia yang berlebihan dan cenderung melupakan kecintaan yang hakiki kepada Allah dan Rasul-Nya. Manusia tetap cenderung meninggikan perkara-perkara duniawi. Terlena akan kemeriahan kehidupan dunia menjadikan manusia lupa akan akhirat.
Bahkan, menurut Karen Amstrong dalam buku “Sejarah Tuhan”, dengan kecintaannya tersebut manusia membuat tuhan-tuhan kecil sebagai sembahan barunya. Bahkan, tuhan-tuhan kecil ini dalam potret kehidupan umat manusia yang teramat labil keimanannya, lebih diagungkan dari pada entitas tuhan yang sebenarnya. Maka bermunculanlah fenomena-fenomena dimana orang-orang lebih memilih menuhankan keluarganya, menuhankan hartanya, dan menuhankan pekerjaannya.
Perkara tandingan itu bukan hanya berupa hal-hal duniawi seperti berhala-berhala, pasangan, harta, begitu pula tahta, namun tandingan-tandingan tersebut termasuk makhluk-makhluk ciptaan-Nya juga. Bahkan, manusia-manusia itu bukan hanya menyembahnya, tetapi mereka mencintainya, yakni taat kepadanya serta bersedia berkorban untuknya melebihi cinta mereka kepada Allah. Tentunya hal demikian merupakan bentuk kedurhakaan terhadap Allah. Orang-orang dengan cinta hinanya ini dapat pula digolongkan ke dalam orang-orang musrik karena telah menyekutukan Allah.
Maka dari itu, seorang manusia untuk terhindar dari cinta yang malah menjerumuskan serta menghinakan dirinya, haruslah selalu berserah diri kepada Allah dan berusaha meningkatkan kadar ketaqwaannya. Sebab, ketaqwaan setiap individu manusia tentulah beragam. Sehingga perlu adanya latihan diri yang harus dijalani oleh seorang manusia untuk mencapai ketaqwaan tertinggi.
Selain untuk menjaga diri dari kecintaan yang justru menghinakan, kadar ketaqwaan yang tinggi malah akan menghantarkan pemiliknya pada kenikmatan cinta yang hakiki, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta inilah yang diajarkan oleh Al-Quran untuk diminati dan diaplikasikan oleh umat Islam. Peristilahan cinta semacam ini familiar sekali dalam ilmu tasawwuf dengan sebutan konsep Mahabbah. Mahabbah adalah cinta yang timbul tanpa ada pamrih kepada Allah.
Dalam konsep mahabbah ini, kecintaan manusia kepada tuhan masih digolongkan menjadi dua tingkatan. Pertama, cinta yang lahir dari kesaksian kepada kemurahan tuhan dalam bentuk kecukupan hajat hidup kemanusiaan, kenikmatan inderawi, serta kehormatan harga diri. Sehingga tidak bisa disangkal jika hati cenderung tergiring untuk mencintai Dzat pemberi kemurahan itu. Cinta ini disebut hub al-hawa, cinta karena kecenderungan hati.
Kedua, cinta yang lahir dari kesaksian hati kepada adanya kesempurnaan. Jika hijab yang menyelimuti hati seorang manusia dibuka oleh Allah, maka tampaklah oleh manusia tersebut keindahan dan kesempurnaan Allah dalam segala hal. Pada saat itulah, secara otomatis lahir rasa cinta yang kokoh seorang manusa kepada Tuhannya.
Cinta kedua inilah yang sesungguhnya paling hakiki, karena seorang hamba tidak lagi melihat seberapa besar Allah memberikan kebutuhan hidupnya, melainkan sebuah cinta yang melintasi dimensi ruang dan waktu serta mengatasi segala keadaan baik suka maupun duka. Dalam artian cinta semacam inilah yang disebut sebagai cinta tak beralasan.
Dengan potret kehidupan saat ini yang semakin menginjak akhir zaman, maka sudah sepantasnya kita menata ulang hati kita, membenahi setiap tingkah laku kita. Janganlah terlalu mencintai makhluk sesama, karena suatu ketika mereka akan binasa. Cintailah Dzat yang Maha Kekal lagi Sempurna, karena hanya kepada-Nya kembali cinta yang sesungguhnya.
Ditulis oleh: Moh. Abdul Majid